Posted By Donny Dinata
SEBAGIAN orang masih mengidentikkan Afrika dengan kemiskinan, kelaparan, atau ketertinggalan. Namun, pendapat orang tentang Republik Afrika Selatan memang lain. Banyak orang yang menyebut bahwa Afrika Selatan (Afsel) adalah negeri yang indah.
Untuk mencapai negeri Nelson Mandela itu, dibutuhkan waktu penerbangan sekitar 13 jam. Hari Minggu (17/6), penulis dan tim delegasi Departemen Luar Negeri RI –yang akan menggelar berbagai acara diplomatik di Afsel– berkesempatan mengunjungi Johannesburg Afrika Selatan. Melalui perjalanan yang cukup melelahkan selama 11 jam, setelah transit di Singapura, rombongan akhirnya tiba di Bandara O.R. Tambo Johannesburg , Senin (18/6) pukul 8.00 pagi waktu setempat. Terdapat perbedaan waktu selama 5 jam sehingga saat itu malam terasa begitu panjang.
Begitu tiba di Kota Pretoria, segera tampak keasrian. Kota kecil ini begitu bersih dan teratur. Tampak taman-taman hijau yang membuat pandangan menjadi lebih segar. Di jalan-jalan mulus itu , mobil-mobil baru dari berbagai merek berseliweran dengan tertib. Ketertiban ini mungkin terdukung oleh ketiadaan angkutan umum ataupun taksi.
Namun, ada satu hal yang langsung terasa, yakni suhu udara yang dingin, sekitar 10 – 15 derajat Celsius. Kalau tidak membawa jaket tebal, bisa repot urusannya. Untung saja, beberapa hari sebelum berangkat, seorang diplomat di KBRI Pretoria, Freddy Martin Panggabean mengirim surat elektronik (e-mail) yang menyarankan agar membawa jaket tebal.
Warga Pretoria, bahkan selalu memakai sandal berpenghangat saat berada di rumah. Lantai pun hampir selalu ditutupi karpet agar penghuni rumah terhindar dari suhu dingin. Apalagi saat ini, Pretoria memang sedang mengalami musim dingin walau tidak pernah ada salju. Saat mandi pagi, jangan harap bisa mandi dengan air dingin. Bisa menggigil dibuatnya. Saking dinginnya suhu di kota ini, kantor-kantor dan rumah-rumah warga dilengkapi pemanas (heater). Dan yang terasa lebih “unik”, AC (air conditioner) pada mobil adalah juga berupa mesin penghangat kabin mobil.
Saat-saat mengikuti berbagai kegiatan, terutama seminar, adalah saat-saat yang menyenangkan. Setidaknya mata dihadapkan pada keteraturan kota serta hadirnya bangunan-bangunan artistik bersejarah.
Kota Johannesburg misalnya, memiliki banyak bangunan kuno yang indah dan masih kokoh, termasuk kampus University of Witwatersrand (Wits University), salah satu perguruan tinggi tertua yang didirikan tahun 1921. Kampus lainnya, University of Pretoria (UP) juga enak dipandang, walau bangunan-bangunan baru mendominasi kampus ini.
Akan tetapi, di tengah berbagai kelebihannya, kedua kota ini, Johannesburg dan Pretoria, memiliki nilai minus untuk masalah keamanan.
Tingkat kejahatan terbilang tinggi, bahkan pada beberapa kasus tergolong berbahaya dan sadis. Para penjahat di Pretoria bisa sampai hati menembak seseorang yang sedang memegang telefon genggam, hanya untuk merampas alat komunikasi tersebut.
Sebagian penjahat bahkan menggunakan senjata otomatis AK 47. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar penjahat berasal dari negara-negara tetangga yang masih dilanda konflik bersenjata.
Orang-orang dari negara-negara konflik itulah yang masuk ke Afsel, untuk merampas harta warga Afsel yang terbilang cukup makmur.
Sebagian kecil pelaku kejahatan adalah warga setempat yang nasibnya kurang beruntung. Oleh karena itulah, tak heran bila rumah-rumah warga Pretoria dan Johannesburg dilengkapi kamera pemantau dan teralis di setiap jendela. Bahkan sebagian besar rumah warga dilengkapi pagar besi tinggi yang dialiri arus listrik.
Untuk mencapai negeri Nelson Mandela itu, dibutuhkan waktu penerbangan sekitar 13 jam. Hari Minggu (17/6), penulis dan tim delegasi Departemen Luar Negeri RI –yang akan menggelar berbagai acara diplomatik di Afsel– berkesempatan mengunjungi Johannesburg Afrika Selatan. Melalui perjalanan yang cukup melelahkan selama 11 jam, setelah transit di Singapura, rombongan akhirnya tiba di Bandara O.R. Tambo Johannesburg , Senin (18/6) pukul 8.00 pagi waktu setempat. Terdapat perbedaan waktu selama 5 jam sehingga saat itu malam terasa begitu panjang.
Begitu tiba di Kota Pretoria, segera tampak keasrian. Kota kecil ini begitu bersih dan teratur. Tampak taman-taman hijau yang membuat pandangan menjadi lebih segar. Di jalan-jalan mulus itu , mobil-mobil baru dari berbagai merek berseliweran dengan tertib. Ketertiban ini mungkin terdukung oleh ketiadaan angkutan umum ataupun taksi.
Namun, ada satu hal yang langsung terasa, yakni suhu udara yang dingin, sekitar 10 – 15 derajat Celsius. Kalau tidak membawa jaket tebal, bisa repot urusannya. Untung saja, beberapa hari sebelum berangkat, seorang diplomat di KBRI Pretoria, Freddy Martin Panggabean mengirim surat elektronik (e-mail) yang menyarankan agar membawa jaket tebal.
Warga Pretoria, bahkan selalu memakai sandal berpenghangat saat berada di rumah. Lantai pun hampir selalu ditutupi karpet agar penghuni rumah terhindar dari suhu dingin. Apalagi saat ini, Pretoria memang sedang mengalami musim dingin walau tidak pernah ada salju. Saat mandi pagi, jangan harap bisa mandi dengan air dingin. Bisa menggigil dibuatnya. Saking dinginnya suhu di kota ini, kantor-kantor dan rumah-rumah warga dilengkapi pemanas (heater). Dan yang terasa lebih “unik”, AC (air conditioner) pada mobil adalah juga berupa mesin penghangat kabin mobil.
Saat-saat mengikuti berbagai kegiatan, terutama seminar, adalah saat-saat yang menyenangkan. Setidaknya mata dihadapkan pada keteraturan kota serta hadirnya bangunan-bangunan artistik bersejarah.
Kota Johannesburg misalnya, memiliki banyak bangunan kuno yang indah dan masih kokoh, termasuk kampus University of Witwatersrand (Wits University), salah satu perguruan tinggi tertua yang didirikan tahun 1921. Kampus lainnya, University of Pretoria (UP) juga enak dipandang, walau bangunan-bangunan baru mendominasi kampus ini.
Akan tetapi, di tengah berbagai kelebihannya, kedua kota ini, Johannesburg dan Pretoria, memiliki nilai minus untuk masalah keamanan.
Tingkat kejahatan terbilang tinggi, bahkan pada beberapa kasus tergolong berbahaya dan sadis. Para penjahat di Pretoria bisa sampai hati menembak seseorang yang sedang memegang telefon genggam, hanya untuk merampas alat komunikasi tersebut.
Sebagian penjahat bahkan menggunakan senjata otomatis AK 47. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar penjahat berasal dari negara-negara tetangga yang masih dilanda konflik bersenjata.
Orang-orang dari negara-negara konflik itulah yang masuk ke Afsel, untuk merampas harta warga Afsel yang terbilang cukup makmur.
Sebagian kecil pelaku kejahatan adalah warga setempat yang nasibnya kurang beruntung. Oleh karena itulah, tak heran bila rumah-rumah warga Pretoria dan Johannesburg dilengkapi kamera pemantau dan teralis di setiap jendela. Bahkan sebagian besar rumah warga dilengkapi pagar besi tinggi yang dialiri arus listrik.
Eksotisme Cape Town
Selain Johannesburg dan Pretoria, kota penting lain di Republik Afrika Selatan adalah Cape Town. Untuk mencapai kota ini, diperlukan waktu 2 jam dengan penerbangan dari Bandara O.R. Tambo Johannesburg ke Cape Town International Airport.
Suhu di kota ini relatif tidak jauh berbeda dengan Bandung atau Jakarta. Di kota ini, AC mobil berfungsi untuk mendinginkan suhu kabin. Berbeda jauh dengan (sebagian besar) fungsi AC mobil di Pretoria.
Suhu di kota ini relatif tidak jauh berbeda dengan Bandung atau Jakarta. Di kota ini, AC mobil berfungsi untuk mendinginkan suhu kabin. Berbeda jauh dengan (sebagian besar) fungsi AC mobil di Pretoria.
Pusat kota Cape Town cukup rapi, tetapi sayang begitu keluar dari bandara, tampak ada “kompleks” rumah kumuh yang jaraknya tidak terlalu jauh dari highway.. Akan tetapi, selepas wilayah kumuh itu, segera tampak berbagai keindahan Cape Town (yang berarti Kota Tanjung atau Kota Pantai).
Salah satunya adalah kampus University of Stellenbosch yang sangat luas dan asri. Seperti juga University of Witwatersrand di Johannesburg, kampus Stellenbosch dipenuhi gedung-gedung tua yang sangat artistik .Di tengah kampus tersebut, terdapat patung besar J.H. Marais, tokoh yang mendirikan perguruan tinggi tersebut. Di lingkungan kampus ini, kesan Afrika sangat minim karena di berbagai penjuru kampus tampak para mahasiswa dan mahasiswi bule.
Sebagian besar para mahasiswi tampak chic dengan model pakaian terbaru yang mendukung kecantikan mereka. Jadi kesannya seperti di Eropa. Apalagi bahasa yang digunakan pun bahasa Inggris.
Namun, keindahan Cape Town belumlah seberapa dibandingkan dengan pemandangan alam di daerah-daerah sekitarnya. Di luar kota yang jaraknya tidak terlalu jauh, ada hamparan lahan luas yang dihuni begitu banyak burung unta (ostrich). Eksotis sekali.
Tak jauh dari lokasi itu, ada Restoran Spiers yang bernuansa alam terbuka, dilengkapi kolam yang airnya bening. Belum lagi, taman yang ditumbuhi berbagai tanaman. Hijau dan asri.
Objek wisata lainnya adalah Cape of Good Hope (Tanjung Harapan), yaitu pantai yang konon dulunya tempat berlabuh kapal Voetboeg yang digunakan Syekh Yusuf saat pertama kali tiba di Afsel tahun 1694.
Banyak wisatawan dari berbagai penjuru dunia menikmati keindahan alam di pantai ini. Mereka pun pasti berfoto dengan latar depan papan panjang bertuliskan “Cape of Good Hope”. Ada pula mitos yang menyebutkan, seseorang akan mendapat keberkahan bila mencuci muka dengan air di pantai itu.
Yang unik, Tanjung Harapan ini merupakan tempat bertemunya air laut yang lebih panas dari Samudra Hindia dan air laut yang lebih dingin dari Samudra Atlantik, sehingga warna air agak berbeda. Dan perlu dicatat bahwa Tanjung Harapan merupakan wilayah paling selatan dari Benua Afrika!
Namun demikian, masih ada objek wisata yang bisa dikatakan paling populer dan monumental di Cape Town, yakni Table Mountain (Gunung Meja). Gunung itu memang unik karena (kalau dipandang dari jauh) permukaan atasnya rata, persis permukaan meja.
Kalau masih berada di bawah (di lahan parkir sekitar gunung itu), rasanya masih ada rasa penasaran, apa sesungguhnya yang ada di atas sana. Untuk itulah, pihak pengelola yakni Table Mountain National Park menyediakan cableway atau cable car (mobil kabel) yang bisa mencapai bagian atas gunung itu hanya dalam hitungan menit, dengan menggunakan fasilitas kabel yang membentang dari bawah ke atas.
Bagi yang menderita acrophobia (takut ketinggian), ini bisa menjadi masalah karena memang medannya terbilang menakutkan. Bagaimana bila kabelnya putus? Namun demikian, mungkin saja rasa ingin tahu bisa mengalahkan rasa takut itu. Buktinya, cable car tersebut tidak pernah sepi dari penumpang yang ingin melihat eksotisme Cape Town dari atas. Tiket seharga 140 rand (sekitar Rp 200.000,00) bukanlah masalah.
Benar saja, begitu tiba di atas, berbagai keindahan alam bisa dinikmati sepuas-puasnya. Wisatawan bisa memandang dan memotret pantai, bukit-bukit, dan ngarai berbatuan di sekitarnya. Benar-benar indah dan eksotis. Di sini kita bisa melihat keagungan Tuhan yang telah menciptakan alam ini dengan begitu indahnya.
Salah satunya adalah kampus University of Stellenbosch yang sangat luas dan asri. Seperti juga University of Witwatersrand di Johannesburg, kampus Stellenbosch dipenuhi gedung-gedung tua yang sangat artistik .Di tengah kampus tersebut, terdapat patung besar J.H. Marais, tokoh yang mendirikan perguruan tinggi tersebut. Di lingkungan kampus ini, kesan Afrika sangat minim karena di berbagai penjuru kampus tampak para mahasiswa dan mahasiswi bule.
Sebagian besar para mahasiswi tampak chic dengan model pakaian terbaru yang mendukung kecantikan mereka. Jadi kesannya seperti di Eropa. Apalagi bahasa yang digunakan pun bahasa Inggris.
Namun, keindahan Cape Town belumlah seberapa dibandingkan dengan pemandangan alam di daerah-daerah sekitarnya. Di luar kota yang jaraknya tidak terlalu jauh, ada hamparan lahan luas yang dihuni begitu banyak burung unta (ostrich). Eksotis sekali.
Tak jauh dari lokasi itu, ada Restoran Spiers yang bernuansa alam terbuka, dilengkapi kolam yang airnya bening. Belum lagi, taman yang ditumbuhi berbagai tanaman. Hijau dan asri.
Objek wisata lainnya adalah Cape of Good Hope (Tanjung Harapan), yaitu pantai yang konon dulunya tempat berlabuh kapal Voetboeg yang digunakan Syekh Yusuf saat pertama kali tiba di Afsel tahun 1694.
Banyak wisatawan dari berbagai penjuru dunia menikmati keindahan alam di pantai ini. Mereka pun pasti berfoto dengan latar depan papan panjang bertuliskan “Cape of Good Hope”. Ada pula mitos yang menyebutkan, seseorang akan mendapat keberkahan bila mencuci muka dengan air di pantai itu.
Yang unik, Tanjung Harapan ini merupakan tempat bertemunya air laut yang lebih panas dari Samudra Hindia dan air laut yang lebih dingin dari Samudra Atlantik, sehingga warna air agak berbeda. Dan perlu dicatat bahwa Tanjung Harapan merupakan wilayah paling selatan dari Benua Afrika!
Namun demikian, masih ada objek wisata yang bisa dikatakan paling populer dan monumental di Cape Town, yakni Table Mountain (Gunung Meja). Gunung itu memang unik karena (kalau dipandang dari jauh) permukaan atasnya rata, persis permukaan meja.
Kalau masih berada di bawah (di lahan parkir sekitar gunung itu), rasanya masih ada rasa penasaran, apa sesungguhnya yang ada di atas sana. Untuk itulah, pihak pengelola yakni Table Mountain National Park menyediakan cableway atau cable car (mobil kabel) yang bisa mencapai bagian atas gunung itu hanya dalam hitungan menit, dengan menggunakan fasilitas kabel yang membentang dari bawah ke atas.
Bagi yang menderita acrophobia (takut ketinggian), ini bisa menjadi masalah karena memang medannya terbilang menakutkan. Bagaimana bila kabelnya putus? Namun demikian, mungkin saja rasa ingin tahu bisa mengalahkan rasa takut itu. Buktinya, cable car tersebut tidak pernah sepi dari penumpang yang ingin melihat eksotisme Cape Town dari atas. Tiket seharga 140 rand (sekitar Rp 200.000,00) bukanlah masalah.
Benar saja, begitu tiba di atas, berbagai keindahan alam bisa dinikmati sepuas-puasnya. Wisatawan bisa memandang dan memotret pantai, bukit-bukit, dan ngarai berbatuan di sekitarnya. Benar-benar indah dan eksotis. Di sini kita bisa melihat keagungan Tuhan yang telah menciptakan alam ini dengan begitu indahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar